Langit Biru di Kota Santri
Guyon-guyon nakal kader pinggiran seputar birunya langit di Nahdhatul
Wathan kian marak, seiring dengan maraknya sosialisasi Partai politik biru ke
tubuh organisasi kemasyarakatan ini. Afiliasi organisasi NW ke partai tertentu
bukan hal yang baru, tapi telah lama, barangkali sejak mulai sang pendiri
menjalani tugas menjadi anggota konstituante dulu. Bukan hal yang buram,
terjunnya sang pendiri seakan menjadi sunnah tasyri’yyah yang selalu ilzam hukumnya
ittiba’, bila perlu ijtihad baru memilih perahu atas nama partai ini dalam
menyampaikan asfirasi umat.
Asfirasi umat perlu dikawal agar mampu menggetarkan regulasi para pemimpin
di negara ini. Miringnya regulasi seakan menambah daftar panjang para penyeleweng
kebijakan yang tak jarang memenggal leher rakyat sendiri atas nama peraturan
ini dan itu, padahal itu hanya kerjasama beberapa oknum dan atas kenikmatan
individu. Ikutnya sang pendiri ke dunia politik jelas dalam rangka mengawal
kebijakan pemerintah agar isu agama dengan pesan-pesan suci selalu terdengar
menggaung di dewan perwakilan rakyat. Sang pendiri politikus yang selalu
melihat laju politik dengan substansi keterlibatan yaitu maslahah umat bukan
pribadi dan golongan. Nah, seharusnya keikutsertaan sang pendiri dalam kancah
perpolitikan era itu menjadi kajian urgen di kader NW dan mendapatkan ruang
bagi kader terbaik untuk memilih dan bahkan bersuara lantang tentang politik.
Apakah maslahat lebih besar dari pada mudharat yang ditimbulkan ketika
organisasi berafiliasi ke salah satu parpol, layaknya sang pendiri lakukan
beberapa puluh tahun lalu.
Jama’ah adalah basis masa riil yang dimiliki oleh organisasi untuk
menggolkan para wakil yang dipilih melalui kebijakan intern parpol tertentu
yang akan menyuarakan isi hati mereka. Jama’ah organisasi ini merupakan
kelompok mayoritas di Nusa Tenggara Barat dan terkanal loyal dan memiliki
dedikasi yang tinggi buat organisasi, terutama ketika menyatukan persepsi arah
perjuangan organisasi meraih maslahat sebanyak-banyaknya, bukan sebaliknya.
Tapi apa yang terjadi, puluhan tahun organisasi berafiliasi ke parpol, tidak
nampak maslahat secara signifikan buat organisasi. Bahkan fakumnya program
besar organisasi terkait dengan pencerahan dan usaha mensejahterakan jama’ahnya
jauh dari harapan.
Katanya” delegasi yang mewakili jama’ah NW di kancah perpolitikan
berdasarkan pilihan jama’ah dan mendapatkan restu mereka”. Jama’ah yang
dimaksud memunculkan spekulasi tinggi dan memunculkan banyak tanda tanya dan
kemungkinan dustanya besar. Bukan hal yang baru, jama’ah selalu ditawarkan
bahkan dipaksa membeli produk yang sudah kadaluarsa, jelas memudharatkan umat.
Tapi bagaimana, jama’ah selalu pada posisi yang sulit dan tertekan psykologinya
dalam kebebasan berkata dan bertindak, bukankah kasus pemanggilan dan pemecatan
beberapa oknum kerap terjadi, dengan alasan tidak mengikuti isi kebijakan
penguasa. Ataukah organisasi ini telah membuat statuta layaknya partai politik
yang memecat anggotanya karena tidak mengikuti etika partai?.
Lima bahkan sepuluh tahun bukan waktu sebentar bagi para tikus itu
menggerogoti perjuangan. Selama menjabat tak sedikit nama sang pendiri selalu
menjadi senjata ampuh mempertahankan kuasa. Benarlah bahwa mencari kuasa di
organisasi ini tidak begitu sulit, cukup dengan memanfaatkan titik lemah
pribadi tertentu yang berkuasa di organisasi ini. Tradisi “ pekok telor” dengan
“carmuk alias suka melapor“ tak jarang sering dilakukan demi tujuan tercapai.
Munculnya beberapa orang asing (mu’allaf)di organisasi, tidak jelas kapan
mulai masuk NW dan apa kontribusi perjuangannya selama ini sering mencengangkan
kader senior. Ya, mereka yang baru langsung menyabet posisi strategis dan ikut
menentukan kebijakan organisasi. Sekali lagi, ini adalah sebuah sikap tidak
bijak, membuang kader terbaik dan memanfaatkan orang yang tidak jelas
identitasnya memegang urusan jama’ah ini. Memang, keraguan kerap menghantui
keputusan sang penerus dalam memberikan posisi penting kepada kader yang ada,
namun seharusnya keraguan itu harus diberantas dengan program kaderiasi yang
jelas dan menyentuh hajat organisasi bukan keluarga. Nah, apabila proses yang
ditempuh bagus, maka dengan sendirinya output yang diidamkan akan benar menjadi
realita, bukan terus menjadi mimpi buruk.
NW sebagai organisasi kemasyarakatan tidak menutup pintu bagi para mu’allaf
untuk bergabung menjadi anggota keluarga besar, namun kehadirannya di
organisasi seharusnya melalui proses kultur bukan struktur. Kultur berpotensi
akan mencetak kader ikhlas dan memahami banyak arah perjuangan sang pendiri,
berbeda dengan yang melalui kultur. Adapun mengenal NW melalui struktur,
apalagi munculnya jelang Pemilu akan memunculkan kecurigaan-kecurigaan dan
penuh tendensi politik. Bukankah banyak bukti berbicara tentang itu?.
Kekhawatiran beberapa kalangan tentang erosi trust pada tubuh organisasi
ini cukup beralasan. Tidak adanya indikator yang dipelurkan bersama oleh
organisasi dan jama’ah tentang “ siapa mereka yang layak” ataukah “siapa mereka
yang berjasa“ yang pantas mewakili mereka berdampak negatif pada trust masa
depan organisasi. Kenyataan demi kenyataan pahit yang jauh dari harapan membuat
umat ini berpikir perlunya standar mereka yang layak diusung. Kesalahan
terbesar organisasi hari ini adalah selalu menjadikan jama’ah selalu menjadi
objek kebijakan yang tak jarang membingungkan?. Sesekali biarkan jama’ah
membawa pilihan hati mereka, bukan pilihan minoritas, capee dee !!!.
Makassar 30 Juni 2011
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !