Hening dan Sebuah Bisikan - AL QOLAM - KMNTB MEDIA
Headlines News :
Home » » Hening dan Sebuah Bisikan

Hening dan Sebuah Bisikan

Written By Unknown on Saturday, October 5, 2013 | 12:00 AM

                                     Hening dan Sebuah Bisikan

Matahari masih malu menampakkan wajahnya. Gumpalan awan masih terlihat sedikit gelap namun riakan cahaya merah kekuningan berpendar dari setiap sisi sayapnya, membuatnya terlihat begitu damai dalam agungnya keindahan sang warna. Tetapi indahnya awan itu tidak sedikitpun membuatku merasa terhibur. Bahkan aku merasa jika ia dan matahari itu sedang menertawakanku. Mungkin matahari itu tidak berani menampakkan dirinya karena takut jika aku akan melihat langsung bagaimana merekahnya senyum sinis yang ia sunggingkan padaku, karena itu ia menjadikan gumpalan awan itu sebagai kambing hitam atas keburukan sifatnya. Mungkin gumpalan awan itu juga tahu jika ia sedang dimanfaatkan  oleh sang matahari, tetapi tidak berani menolak karena takut jika matahari tidak ingin lagi memberikannya pendaran cahaya yang menjadikannya agung dalam keindahan. Takut kehilangan penggemar dari seluruh pasang mata di dunia. Menyebalkan.
Bagaimanapun pandangan mereka terhadapku, aku tidak perduli. Aku hanya memusatkan pandanganku menuju dasar tebing di mana aku berdiri tepat di ujung bibirnya. Aku tidak menikmati keindahan yang ditampilkan matahari dan gumpalan awan itu, tetapi begitu merasakan kesejukan dari sentuhan angin yang begitu lembut membelaiku. Aku merasa jika ia ingin membawaku terbang menuju tempat yang aku pun tak tahu entah di mana letaknya, membujukku dengan beberapa belaian yang sejuk. Tetapi aku tidak bisa melawan kehendak fikiranku untuk terus menatap dasar tebing curam itu.
Mungkin angin itu merasa telah gagal membujukku, sehingga ia berlalu begitu saja dari indra perasaku. Namun tidak begitu lama, aku merasakan kembali kesejukannya membelai kulitku dan kembali membujukku untuk menjauh dari ujung tebing itu. Tetapi seperti di awal tadi, aku tetap konsentrasi pada pusat tatapanku. Ia pun berlalu begitu saja. Tidak lama setelah itu, ia kembali lagi, namun aku pun tetap pada pendirianku. Ia menghilang lagi. Dan begitu seterusnya hingga aku merasa ada yang bergetar dari saku celanaku, membuyarkanku dari konsentrasi penuh pada dasar tebing dan menolak bujukan sang angin yang sedari tadi mengangguku, meski aku begitu menikmati kesejukan sentuhannya.
Sedikit enggan aku mengeluarkoan handphoneku. Sebuah panggilan dari Karta. Hah, dia lagi. Malas rasanya kuterima panggilannya. Untuk apa dia mengubungiku lagi? Jika dia hanya meminta tugas kuliah, tidak perlu dengan menelepon aku begini. Dasar Karta! Dia selalu menggangguku di saat aku sedang merasa damai sebelum aku melakukan hal apa yang selama ini menjadi kehendakku.
“Ada apa Karta? Tidak bisakah kamu menghubungiku di waktu yang lain?”
“Di waktu yang lain? Apa maksudmu? Aku hanya ingin menanyakan kabarmu, teman.”
“Aku baik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik sebelum kamu menghubungiku. Sekarang katakan saja, apa yang kamu inginkan?”
“Baiklah. Aku hanya ingin bertanya. Begini, aku baru saja membaca sebuah buku. Di dalamnya tertulis jika orang yang mati karena bunuh diri itu tidak akan pernah diterima oleh Tuhan, dan selamanya dia akan mendapat siksa di neraka. Bagaimana menurutmu?”
“Mungkin, mungkin saja.” Aku sedikit gugup menjawab pertanyaan Karta. Aku tidak habis pikir, untuk apa dia menanyakan hal itu padaku? Apa dia sedang membodohiku? Atau mungkin dia mengetahui hal apa yang ingin aku lakukan?
“Apa maksudmu dengan mungkin saja itu?”
“Ya.. maksudku.. tunggu, untuk apa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin tahu saja.”
Hah, ingin tahu? Saja? Dia menghubungiku saat ini hanya untuk mengetahui apa pendapatku? Dasar! Apa pentingnya? “Mungkin saja dia tidak akan selamanya di siksa dalam neraka. Jika dalam hidupnya ia selalu berbuat baik, mungkin Tuhan juga akan memberikan toleransi pada kesalahannya. Mungkin dengan membagi dua, atau mungkin juga dengan membagi empat dari waktu yang seharusnya ia habiskan di dalam neraka.”
“Oh, begitu. Baiklah. Terima kasih atas jawabanmu. Itu akan sangat membantuku. Satu lagi, apa kita bisa bertemu hari ini? Aku hanya ingin memastikan kebenaran jawabanmu.
“Kebenaran jawabanku? Apa maksudmu?”
“Teman, ku tunggu kamu di ujung tebing tepat di tepi pantai ya. Jangan terlambat terlalu lama”.
Belum sempat aku bertanya kembali, Karta sudah lebih dulu memutuskan koneksi pembicaraan kami. Tetapi sedikitpun aku tidak mengerti. Bagaimana bisa dia memintaku bertemu dengannya di ujung tebing, sementara saat ini aku sendiri sedang berdiri tepat di tempat yang dia maksudkan itu?
Aku sama sekali tidak ingin berpikir jika dia ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang ingin aku lakukan saat ini. Aku ingin melakukan hal ini karena aku memiliki alasan yang tepat dan sangat akurat. Orang tuaku sama sekali tidak memperdulikanku. Mereka hanya mementingkan urusan mereka, tidak sedikitpun memperhatikanku. Lalu Linda, wanita yang selama ini selalu ku cintai telah meninggalkanku tanpa memberiku alasan yang jelas. Dan sekarang, hal apa yang dapat aku banggakan setelah orang tuaku, bahkan Linda telah begitu saja meninggalkanku? Tidak ada. Hanya ada satu hal yang dapat membantuku saat ini, hal yang bisa membawaku menghilang dari segala sakit dalam semua jeritan hatiku, BUNUH DIRI. Ya, hanya bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan Karta? Dia memiliki keluarga yang utuh, dan masih sangat menikmati masa jomblonya setelah putus dengan kekasihnya bulan lalu. Lalu, apa mungkin dia akan melakukan hal yang sama seperti yang aku fikirkan? Bukankah kasusnya masih terlalu dini untuk melakukan sebuah pengalaman bunuh diri?
“Aku butuh bantuanmu.” Tiba-tiba saja Karta telah berada tepat di sampingku, membuatku terlonjak kaget seketika mendengar suaranya. “Aku butuh kamu untuk menjadi saksi atas kematianku. Kamu tidak boleh menolak, ini adalah permintaan terakhirku.”
“Maksudmu, kamu ingin bunuh diri? Heh, Karta. Aku sedang tidak ingin bercanda sekarang. Lebih baik kamu pulang saja dan beristirahat. Itu baik untuk kesehatan otakmu.”
“Aku sama sekali tidak bercanda. Bukankah kamu sendiri yang memberikanku solusi. Jika nanti aku mati karena bunuh diri, sebagian dari dosaku akan diampuni dan aku tidak akan berada selamanya dalam neraka, karena Tuhan akan mengasihaniku dengan membagi empat waktu penyiksaanku, karena aku selama ini telah banyak berbuat kebaikan dalam hidupku. Bukankah begitu?”
“Iya, mungkin akan seperti itu. Tetapi bagaimana jika kenyataannya sama sekali berbeda? Mungkin saja Tuhan tidak ingin memberikan toleransi atas kesalahanmu.”
“Kamu ini berbicara apa? Bukankah selama ini aku selalu mematuhi orang tuaku. Sebagai teman, aku juga selalu ada di sampingmu. Aku tidak pernah meninggalkamu di saat keadaan keluargamu sedang kacau, dan aku selalu menemaimu di saat Linda memutuskan untuk meninggalkanmu. Bukankah itu artinya aku telah berbuat banyak kebaikan dalam hidupku? Sudahlah, teman. Sekarang ini aku butuh kamu untuk diam dan hanya memperhatikan. Sekiranya setelah aku melompat nanti, dan mungkin di saat kepalaku telah hancur menyemburkan darah di bebatuan dasar tebing itu, tolong temui jasadku dan baringkan aku tepat di mana aku berdiri saat ini. Juga jangan pernah meninggalkanku setelah kamu membaringkan jasadku di sini. Biarlah nanti mereka yang datang menemui jasadku, jangan pernah membuang-buang waktumu dengan sibuk mencari mereka.”
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Tetapi, jika aku boleh tahu, apa alasanmu untuk melakukan tindakan bunuh diri ini? Karena yang aku tahu selama ini kamu baik-baik saja.”
“Orang tuaku tidak lagi memperhatikanku. Lalu kekasihku telah meninggalkanku. Memang kami telah berpisah bulan lalu, tapi aku ingin mengajaknya kembali lagi. Namun dia telah menolak. Dan sekarang, hal apa yang dapat aku banggakan setelah orang tuaku tidak lagi memperdulikanku, dan kekasihku telah memutuskan untuk menghilang dariku?”
Astaga! Aku begitu terkejut mendengar apa yang dia katakan. Bagaimana bisa kasusnya menyamai kasusku? Dan di tengah kebingunganku, Karta melangkahkan kakinya hingga setengah dari telapak kakinya telah melewati bibir tebing. Keringatku begitu deras mengalir dari kening dan seluruh pori-pori di kulitku melihatnya seperti itu.
“Tolong jangan memperhatikanku seperti itu, teman. Bukankah aku telah memiliki jaminan nanti setelah kematianku?”
“Tidak..” Tak dapat ku tahan aliran air mataku begitu deras bercampur dengan keringatku. Dia adalah teman baikku, dan aku tidak ingin jika dia melakukan hal itu. Aku hanya bisa berkata setengah berbisik padanya.
“Aku yakin, dengan aku lebih cepat bunuh diri, dosa-dosaku tidak akan bertambah banyak, dan Tuhan pun tidak akan terlalu sibuk membagi waktu penyiksaanku jika jumlah bilangan kesalahanku masih tergolong sedikit.”
“Tidak, Karta. Itu tidak seperti…”
“Tenang saja. Nanti akan ku kirimkan salam darimu kepada Tuhan, dan akan ku minta Dia untuk meringankan segala siksaanmu setelah kamu meninggal nanti. Karena kamu telah berbaik hati membantuku dalam usaha bunuh diriku ini.”
“Tidak Karta. Aku telah berbohong. Tuhan tidak akan mengampuni kesalahanmu, ataupun membagi empat dari waktu penyiksaanmu setelah kamu bunuh diri. Tuhan begitu membenci hambanya yang menghilangkan nyawa mereka dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Semua yang aku katakan tadi adalah jawaban rekayasaku sendiri. Bagaimanapun banyaknya kebaikan yang telah kamu buat di dunia, tetap saja Tuhan tidak akan menerimamu. Segala kebaikan itu akan musnah termakan oleh dosa karena bunuh diri itu. Dan sekarang, aku mohon Karta. Tolong urungkan niatmu untuk bunuh diri itu. Jika sekarang kamu telah merasa sengsara dan sia-sia di dunia, dengan membunuh dirimu kamu akan jauh lebih sengsara dan sia-sia di akhirat nanti. Segala kebaikan yang telah kamu buat di dunia akan sangat tidak berguna. Mereka tidak akan bisa membantumu untuk merayu Tuhan agar Dia mengurangi waktu penyiksaanmu. Percaya padaku, Karta. Semuanya akan sia-sia.” Air mataku semakin deras mengalir, begitu pula dengan keringatku. Seluruh badanku telah basah semua. Bahkan rasanya seperti baru saja keluar dari kolam berenang di halaman belakang rumahku. Aku juga tidak mampu melihat bagaimana reaksi Karta setelah mendengar semua yang aku katakan tadi. Aku hanya mengucapkan semua kalimat sebagai usaha mengurungkan niat Karta tadi dengan sepenuhnya menundukkan kepala dan memejamkan kedua mataku.
Sejenak, segalanya begitu hening. Tidak ada tanda-tanda bahwa Karta menolak ataupun menerima segala yang ku ucapkan tadi. Ku coba membuka kedua mataku dan menatap ke arah di mana Karta berdiri tadi. Dan… Tegg!! Dadaku rasanya seperti baru saja terkena aliran listrik bertekanan tinggi, berdetak begitu kencang. Lebih kencang dari detakan jantung sepasang kekasih yang baru saja menjalin cinta mereka. Karta sama sekali tidak telihat di sana. Perlahan aku menatap ke dasar tebing. Namun sedikitpun tidak ada tanda bahwa dia telah melompat dari tebing. Aku tidak melihat jasadnya terkapar di sana, bahkan sedikit warna merah pun tidak terlihat. Tetapi, tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku seperti mencium bau asap. Asal dari asap itu begitu dekat denganku. Kecepatan detakan jantungku telah mulai berkurang setelah mencium bau asap itu. Aku tersenyum, namun rasanya juga begitu marah dalam hatiku. Aku pun memutar balik tubuhku, dan menemukan Karta tengah menikmati hisapan rokoknya.
“Jadi, kamu mengurungkan niatmu?”
“Teman, aku sama sekali tidak pernah berniat menghabisi nyawaku sendiri. Masih banyak dari semua obsesiku yang belum aku dapatkan. Jangan mencandaiku seperti itu.”
“Maksudmu? Bukankah kamu baru saja ingin bunuh diri? Hei, Aku masih belum begitu tua untuk cepat kehilangan ingatanku.” Aku sedikit marah mendengar jawabannya. Bagaimana bisa dia bercanda setelah apa yang dia katakan dan akan dilakukan tadi, yang bisa-bisa juga membuatku kehilangan detakan jantungku.
“Baiklah, maafkan aku. Teman, apa boleh aku memintamu melakukan satu hal lagi?”
Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dia pasti ingin membodohiku lagi, dengan menyuruhku melakukan hal yang nantinya akan membuatnya girang bukan kepalang.
“Begini, teman. Maksud dari semua ucapan dan apa yang aku lakukan tadi, sepenuhnya ku maksudkan untukmu. Bagaimana kalau sekarang kamu bayangkan, seandainya yang ada di posisiku tadi adalah kamu, dan anggap saja aku tidak ada dalam kejadian tadi.”
“Aku tidak mengerti.” Aku melipat dahiku, sama sekali belum memahami apa yang Karta ucapkan.
Tiba-tiba saja dia memegang bahuku, dan berkata “Bayangkan jika aku adalah kamu, dan semua yang kamu katakan tadi adalah bisikan dari hati kecilmu.” Setelah mengucapkan hal itu, dia tersenyum dan berlalu begitu saja, meninggalkanku sendiri merenungi segala maksud ucapannya.
Sejenak kuputuskan menikmati keheningan itu, sendiri.



Written by M Yusri Puadi

Share this article :

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Hai saudara Baihaqi-Arroyyan. Nama saya M Yusri Puadi. Saya anak NTB juga. Saya penulis dari karya "Hening dan Sebuah Bisikan" ini. Saya kira tidak akan ada yang membaca karya ini, ternyata saya salah. Terima kasih telah TIDAK menghapus foto dan nama saya di akhir cerpen ini. Temukan saya di facebook Yusri Gordon-Levitt. Mungkin kita dapat berbagi informasi :)

    ReplyDelete

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AL QOLAM - KMNTB MEDIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger